Skip to main content

Pengaruh Kemajuan Lingkungan Terhadap Koteka di Papua


Pakaian adalah sesuatu yang menempel atau melekat di tubuh kita dan juga berfungsi untuk menutupi dan juga melindungi tubuh kita dari berbagai macam hal. Namun hal tersebut berbeda dengan masyarakat di papau yang masih menggunakan koteka. Koteka bagi masyarakat papua merupakan pakaian yang berfungsi sama dengan pakaian kita pada umumnya. Koteka merupakan identitas diri dari masyarakat papua.
Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku–suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Papua Dominggus Rumbewas, keterampilan membuat koteka diperoleh secara turun temurun bagi kaum pria. Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan koteka sebagai busana pria. Koteka berfungsi untuk menutupi bagian sensitive dari seorang pria. Bagi masyarakat papua, koteka merupakan busana yang sama dengan pakaian pada umumnya namun bagi menurut orang-orang di luar papua koteka bukan lah busana yang baik untuk digunakan karena tidak menutupi seluruh tubuh melainkan hanya menutupi salah satu bagian tubuh saja.
Koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan "tidak beradab". Tetapi, dari sisi orang Papua, koteka adalah pakaian resmi orang Papua.
Disini lah muncul pertentangan akan persepsi mengenai busana yang baik untuk digunakan. Seiring dengan kemajuan masyarakat dan pengaruh lingkungan yang mulai beradap atau modern, masyarakat papua mulai di perkenalkan dengan pakaian atau busana yang dapat menutupi seluruh anggota tubuh. Namun hal tersebut hanya bertahan sebentar karena masyarakat papua khususnya beberapa suku asli papua kembali menggunakan koteka sebagai pakaian mereka, hal tersebut terjadi karena koteka murapakan identitas dari masyarakat papua sejak dulu dan murapakan kepercayaan dari masyarakat papua dan juga karena lingkungan asli masyarakat papua yang tetap percaya dengan hal tersebut maka akan sulit mengubah hal tersebut.
Dr Jos Mansoben (49), antropolog budaya dari Universitas Cenderawasih, Jayapura, memaparkan ihwal adat pemakaian koteka sebagai identitas masyarakat Papua ini. Menurut Jos, integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1962 merupakan satu titik balik kehidupan masyarakat koteka. Pertemuan para pejabat dari Jakarta dengan masyarakat koteka waktu itu merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda, yakni Melanesia dan Polinesia. "Orang Jakarta tidak melihat koteka sebagai pakaian, sementara masyarakat pedalaman Papua melihatnya sebagai pakaian, yang tidak berbeda dengan pakaian yang dikenakan masyarakat Indonesia umumnya. Sejak itu pula terbangun sikap heran dan tanda tanya di antara kedua pihak," papar Jos. Jakarta hadir di Papua dengan membawa misi khusus sebagai pembawa perubahan, modernisasi, kemajuan, memberantas kemiskinan dan ketertinggalan. Misi itu begitu menggebu dalam semangat dan tindak tanduk para pejabat.
Secara bertahap, sosialisasi mengenai gerakan pemberantasan koteka pun mulai digalakkan. Gubernur Frans Kasiepo (1964-1973) mulai menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai pakaian yang sehat, sopan, dan bermartabat. Kemudian dilanjutkan dengan kampanye antikoteka oleh Gubernur Soetran. Sosialiasi dilanjutkan Acub Zainal, Busiri Suryowironoto, dan Gubernur Isaac Hindom. Pada masa pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (1988-1993) dan Yacob Pattipi (1993-1998) mulai dilakukan kampanye antikoteka di Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa kecamatan dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah yang merupakan basis koteka.
Tetapi, kampanye antikoteka dengan cara itu tidak banyak membantu masyarakat koteka. Satu dua potong pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan.
Ketika pakaian hancur, tidak ada pakaian baru sebagai pengganti. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau, membuat mereka seakan-akan tetap terisolasi di tengah hutan. Tidak mengenal peradaban modern dan tidak tahu caranya mendapatkan pakaian. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara merawat dan menjaga pakaian agar tetap awet di badan. Kampanye antikoteka tidak disertai pembangunan infrastruktur yang menghubungkan masyarakat kota dengan masyarakat terisolasi sehingga tidak banyak membawa perubahan. Ada kesenjangan cukup besar antara masyarakat kota yang sebagian besar dihuni warga pendatang dengan masyarakat pedalaman yang dikuasai penduduk asli. Satu-satunya sarana transportasi untuk menjangkau masyarakat pedalaman adalah pesawat. Itu pun kalau ada lapangan terbang di daerah itu. Transportasi udara ini sebagian besar dimiliki gereja, dan belakangan ini mulai diminati pihak swasta seperti Trigana, Mimika Air, Merpati, dan Manunggal Air Service.
Pemerintah memaksa masyarakat meninggalkan koteka dengan cara membagi-bagikan pakaian. Cara ini memang tidak tepat sasaran. Tetapi, paling tidak manusia koteka mulai paham bagaimana harus mengenakan pakaian yang layak dan memenuhi syarat kesehatan. Jos Mansoben memaparkan, pembangunan dengan sendirinya membawa perubahan bagi masyarakat pedalaman Papua. Kemajuan infrastruktur, masuknya teknologi dan informasi ke pedalaman dengan sendirinya mengubah pola pikir dan perilaku hidup masyarakat pedalaman. Pembasmian koteka tidak harus dengan cara membagi-bagi pakaian.
Sumber:
Engelbertus Pr Degey. Koteka, Antara Identitas Diri dan Kemajuan Masyarakat Papua. http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5136
http://www.infopapua.com/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=2459&mode=thread&order=0&thold=0

Comments

Popular posts from this blog

Obsesi akan Wajah Putih Bersih

Banyak orang sekarang-sekarang ini yang mulai terobsesi dengan wajah mulus tanpa noda sedikitpun, putih bersih, dan juga terlihat cantik ataupun tampan. "Siapa juga yang tidak ingin memiliki wajah putih, bersih, mulus tanpa noda dan kerutan, juga cantik dan tampan!!" Dengan semakin banyaknya orang yang memerlukan kebutuhan akan kosmetik, krim, dan juga sanblok yang akan mereka gunakan untuk mengatasi masalah mereka akan kusamnya wajah, noda-noda yng tidak diinginkan yang terdapat dalam wajah mereka. Semakin banyak pula kosmetik yang baru-baru ini muncul dipasaran bagaikan jamur yang tumbuh di pepohonan. Semuanya menawarkan khasiat yang dapat membuat setiap konsumennya yang memakainya akan terlihat cantik atau tampan dan juga putih bersih tanpa adanya noda, dan juga kerutan-kerutan yang muncul ketika umur kita sudah mulai menua. Semuanya memberikan penawaran yang sangat menggiurkan bagi pemakainya, dan ada juga kosmetik yang dapat membuat pemakainya terlihat lebih

GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (PDD)

Autisme dalam Diagnostic and Statiscal Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) diluar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADHD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan pervasif (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical

ANOREXIA NERVOSA

Disadari atau tidak, anggapan bahwa langsing itu cantik telah melekat dalam kepala setiap orang, khususnya pada pikiran setiap wanita. Sejak kecil kita seolah didoktrin, menjadi wanita harus bertubuh langsing. Apalagi ditambah dengan banyaknya obat pelangsing yang diproduksi di pasaran. Akhirnya, tanpa disadari banyak wanita yang berlomba-lombamenjaga ketat pola makanan mereka agar terlihat langsing. Kadang begitu kelewatan sampai menimbulkan gangguan atau kelainan pola makan (eating disorders) yang disebut anorexia dan bulimia. Banyak wanita didunia yang menderita kelainan pola makan (eating disorders) seperti calista flockhart, mendiang putri Diana, para model-model di dunia juga banyak yang mengidap penyakit tersebut, dan lain sebagainya. Tren akan tubuh langsing dan kurus ini juga semakin dipicu oleh banyaknya public figure yang menganut ketat, bahkan mengalami anorexia, hingga berat badannya turun drastis. Kelainan pada pola makan ini timbul akibat rasa ketakutan pada diri ses