Skip to main content

PRIVASI, RUANG PERSONAL, TEROTIROAL

A. PRIVASI

Rapport (dalam Soesilo,1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan.

Altman (1975), mendefinisikan privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain.

Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain ()privasi tinggi.Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut:

a. Perilaku verbal : perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauhmana orang lain boleh berhubungan dengannya.

b. Perilaku non verbal : perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang.

c. Mekanisme kultural : budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu.

d. Ruang personal : merupakan batasan maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain. Ruang personal tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terletak pada suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana.

e. Teritorialitas : merupakan mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antara dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.

Faktor- faktor yang mempengaruhi privasi

1. Faktor personal : Marshall menyatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi.

2. Faktor situasional : Penelitian Marshall tentang privasi dalam rumah tinggal, menemukan bahwa tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain disebabkan oleh setting rumah. Setting rumah disini sangat berhubungan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antara rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah. Seseorang yang mempunyai rumah yang jauh dari tetangga dan tidak dapat melihat banyak rumah lain disekitarnya dari jendela dikatakan memiliki kepuasan akan privasi yang lebih besar.

3. Faktor budaya : penemuan dari bebrapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku iban di kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang jawa dan bali) memandang bahwa pada tiap-tiap tidak ditemukkan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi.

B. PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)

Istila personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi dan arsitektur.

Menurut Sommer ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah di sekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasannya dilanggar, mereka tidak senang, dan kadang- kadang menarik diri.

Altman (1975) mendefinisikan privasi sebagai kontrol seleksi manusia untuk mengakses kepentingan diri sendiri dan kelompok. Definisi ini mempunyai dua elemen penting; pertama privasi sebagai kemampuan untuk memisahkan diri dari orang lain, dan kedua adanya ukuran-ukuran fisik dari ruang untuk mendapatkan privasi. Altman (1975) mengakui pentingnya aspek privasi ruang personal untuk menyajikan informasi mengenai diri seseorang. Karena privasi ini merupakan proses dinamis, sejauh mana orang itu terbuka atau tertutup dari orang lain. Ruang personal dan perilaku teritorial adalah mekanisme privasi yang setidaknya bisa diterima seseorang untuk mencapai tujuannya (Deddy Halim, 2005).

Setiap orang menginginkan adanya komunikasi dari aspek-aspek kepribadian mereka dengan orang lain yang mampu merefleksikan keterikatan mereka terhadap ruang. Sifat privasi dalam arsitektur cenderung dipersonalisasi dengan dukungan presentasi dan informasi dari lingkungan fisiknya.

Banyak peneliti tentang jarak proksemik yang telah dilakukan, varian yang didapat anatara lain jarak intim (0-0,45m), jarak pribadi ()0,45-1,2m , jarak sosial (1,2-3,6m), jarak publik (>3,6m), jika dibandingkan subfase masing-masing jaraknya, akan didapat hal sebagai berikut:

1. Jarak Intim

- Fase dekat (0-15cm): perlindungan dan kasih sayang, pandangan tidak tajam, tidak perlu suara

- Fase jauh (15-45 cm): jarak sentuh, tidak layak dimuka umum, pandangan terdistorsi, bau tercium, suara berbisik.

2. Jarak Pribadi

- Fase dekat (0,45-0,75 m): mempengaruhi perasaan, pandangan terganggu, fokus lelah, tekstur jelas.

- Fase jauh (0,75-1,2 m): pembicaraan soal pribadi, pandangan baik, suara jelas/ perlahan.

3. Jarak Sosial

- Fase jauh (2,1-3,6 m): melihat diri, formalitas.

- Fase dekat (1,2-2,1 m): dominasi dan kerja sama

4. Jarak Publik

- Fase jauh (>7,5 m): pembicaraan dengan audiens

- Fase dekat (3,6-7,5 m): belum saling kenal

C. TERITORIALITAS

Holahan mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain.

Apa perbedaan ruang personal denga teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963) bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.

Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas yaitu:

1). Kepemilikan atau hak dari suatu tempat

2). Personalisasi atau pendapat dari suatu area tertentu

3). Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar

4). Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan estetika.

Sementara itu, Altman membagi teritorialitas menjadi tiga yaitu :

1. Teritorial Primer : jenis teritorial ini memiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.

2. Teritori Sekunder : jenis ini lebih longgar pemakainya dan pengontrolan oleh perorangan. Sifat teritorial sekunder adalah semi-publik. Yang termasuk dalam teritori ini adalah sirkulasi lalu lintas didalam kantor, toilet, zona servis dan sebagainya.

3. Teritorial Umum : teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim didalam ,asyarakat dimana teritorial umum itu berada. Contoh teritorial umum ini adalah taman kota, tempat duduk dalam bis kota, gedung bioskop, ruang kuliah dan sebagainya.berdasarkan pemakaiannya teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: Stalls, Turns, dan Use Space.

Menurut Altman (1975) teritorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial.

Perilaku teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang dimiliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritori ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat samapai dengan publik. Ketidak jelasan pemilikan teritorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.

Referensi :

Anonim. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_e0151_044161_chapter2.pdf

Prabowo Hendro.1998.Arsitektur Psikologi dan Masyarakat.Jakarta:

Universitas Gunadarma

Comments

Popular posts from this blog

Obsesi akan Wajah Putih Bersih

Banyak orang sekarang-sekarang ini yang mulai terobsesi dengan wajah mulus tanpa noda sedikitpun, putih bersih, dan juga terlihat cantik ataupun tampan. "Siapa juga yang tidak ingin memiliki wajah putih, bersih, mulus tanpa noda dan kerutan, juga cantik dan tampan!!" Dengan semakin banyaknya orang yang memerlukan kebutuhan akan kosmetik, krim, dan juga sanblok yang akan mereka gunakan untuk mengatasi masalah mereka akan kusamnya wajah, noda-noda yng tidak diinginkan yang terdapat dalam wajah mereka. Semakin banyak pula kosmetik yang baru-baru ini muncul dipasaran bagaikan jamur yang tumbuh di pepohonan. Semuanya menawarkan khasiat yang dapat membuat setiap konsumennya yang memakainya akan terlihat cantik atau tampan dan juga putih bersih tanpa adanya noda, dan juga kerutan-kerutan yang muncul ketika umur kita sudah mulai menua. Semuanya memberikan penawaran yang sangat menggiurkan bagi pemakainya, dan ada juga kosmetik yang dapat membuat pemakainya terlihat lebih

GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (PDD)

Autisme dalam Diagnostic and Statiscal Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) diluar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADHD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan pervasif (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical

ANOREXIA NERVOSA

Disadari atau tidak, anggapan bahwa langsing itu cantik telah melekat dalam kepala setiap orang, khususnya pada pikiran setiap wanita. Sejak kecil kita seolah didoktrin, menjadi wanita harus bertubuh langsing. Apalagi ditambah dengan banyaknya obat pelangsing yang diproduksi di pasaran. Akhirnya, tanpa disadari banyak wanita yang berlomba-lombamenjaga ketat pola makanan mereka agar terlihat langsing. Kadang begitu kelewatan sampai menimbulkan gangguan atau kelainan pola makan (eating disorders) yang disebut anorexia dan bulimia. Banyak wanita didunia yang menderita kelainan pola makan (eating disorders) seperti calista flockhart, mendiang putri Diana, para model-model di dunia juga banyak yang mengidap penyakit tersebut, dan lain sebagainya. Tren akan tubuh langsing dan kurus ini juga semakin dipicu oleh banyaknya public figure yang menganut ketat, bahkan mengalami anorexia, hingga berat badannya turun drastis. Kelainan pada pola makan ini timbul akibat rasa ketakutan pada diri ses